Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI ROKAN HILIR
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
6/Pid.Pra/2022/PN Rhl ALEX SANDER 1.Kepala Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resort Rokan Hilir,
2.Kepala Kepolisian Resort Rokan Hilir,
3.Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Riau
4.Kepala Badan Reserse Kriminal POLRI
5.Kepala Kepolisian Republik Indonesia KAPOLRI
Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 21 Des. 2022
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 6/Pid.Pra/2022/PN Rhl
Tanggal Surat Rabu, 21 Des. 2022
Nomor Surat 16/SKK-YRP/XII/2022
Pemohon
NoNama
1ALEX SANDER
Termohon
NoNama
1Kepala Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resort Rokan Hilir,
2Kepala Kepolisian Resort Rokan Hilir,
3Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Riau
4Kepala Badan Reserse Kriminal POLRI
5Kepala Kepolisian Republik Indonesia KAPOLRI
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
ALEX SANDER , lahir di Duri 6 juni 1985, , umur 37 Tahun, Jenis Kelamin Laki-laki, Agama Islam, Pekerjaan Polri, Warga Negara Indonesia, Alamat: Jl. SMAN 02 Rt 019 Rw 003 Kel. Bagan Hulu Kec. Bangko Kab. Rokan Hilir Provinsi Riau / Jln. Damai RT. 007/RW.012 KeL/Desa Panipahan , Kec. Pasir Limau Kapas, Kab. Rokan Hilir, Provinsi Riau.---------------------------------------------------------------
 
Yang dalam hal ini mewakili kepentingan hukum suaminya BRIPKA ALEX SANDER yang saat ini berada dalam tahanan Satresnarkoba Polres Rokan Hilir sebagai tersangka dugaan Tindak Pidana Narkotika jenis sabhu, pelanggaran pasal 114 ayat (2) jo pasal 132 ayat (1) UU RI No.35 / 2009 Tentang Narkotika Oleh Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resort Rokan Hilir.
 
Untuk selanjutnya disebut sebagai --------------------------------------- PEMOHON.
——————————–T E R H A D A P——————————–
1. Kepala Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resort Rokan Hilir, yang berkedudukan di Jalan Lintas Riau-sumut Km 167 Kelurahan Banjar 12 – Ujung Tanjung Kec. Tanah Putih Kab. Rokan Hilir Riau.
Untuk selanjutnya disebut sebagai:------------------------------------TERMOHON I.
2. Kepala Kepolisian Resort Rokan Hilir, yang berkedudukan di Jalan Lintas Riau-sumut Km 167 Kelurahan Banjar 12 – Ujung Tanjung Kec. Tanah Putih Kab. Rokan Hilir Riau.
Untuk selanjutnya disebut sebagai:-----------------------------------TERMOHON II.
3. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Riau, yang berkedudukan di Jalan Pattimura, Kec. Sail, Kota Pekanbaru-Riau (Mapolda Riau).
Untuk selanjutnya disebut sebagai:---------------------------------TERMOHON III.
4. Kepala Badan Reserse Kriminal POLRI, yang berkedudukan di Jalan Trunojoyo No. 3 Kebayoran Baru Jakarta Selatan (MABES POLRI).
Untuk selanjutnya disebut sebagai:---------------------------------TERMOHON IV.
5. Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI), yang berkedudukan di Jalan Trunojoyo No. 3 Kebayoran Baru Jakarta Selatan (MABES POLRI). 
Untuk selanjutnya disebut sebagai:-------------------------TERMOHON V.
Adapun dasar dan alasan PEMOHON diajukannya Praperadilan ini adalah sebagai berikut :
I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
1. Perlu dipahami dan diketahui bahwa terlahirnya lembaga Praperadilan adalah karena terinspirasi oleh prinsip-prinsip yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang  memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melaksanakan hukum pidana formil tersebut agar tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya melaksanakan hukum pidana formil tersebut benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia;
2. Bahwa keberadaan Lembaga Praperadilan, sebagaimana diatur dalam Bab X Bagian Kesatu KUHAP dan Bab XII Bagian Kesatu KUHAP secara jelas dan tegas dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan horizontal untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (Penyelidik atau Penyidik maupun Penuntut Umum), sebagai upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang apabila dilaksanakan secara sewenang-wenang dengan maksud/tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang termasuk dalam hal ini PEMOHON. Menurut Luhut M. Pangaribuan, lembaga Praperadilan yang terdapat di dalam KUHAP identik dengan lembaga pre trial yang terdapat di Amerika Serikat yang menerapkan prinsip Habeas Corpus, yang mana pada dasarnya menjelaskan bahwa di dalam masyarakat yang beradab maka pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang;
3. Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan/upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum sudah sesuai dengan undang-undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan menyangkut sah tidaknya tindakan penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan;l
4. Bahwa tujuan Praperadilan seperti yang tersirat dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal, sehingga esensi dari Praperadilan adalah untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap Tersangka, benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan undang-undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP atau perundang-undangan lainnya;
5. Bahwa apabila kita melihat pendapat S. Tanusubroto, yang menyatakan bahwa keberadaan lembaga Praperadilan sebenarnya memberikan peringatan:
a) Agar Penegak hukum harus hati-hati dalam melakukan tindakan hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang;
b) Ganti rugi dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga negara yang diduga melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung dengan bukti-bukti yang menyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan penegak hukum yang tidak mengindahkan prinsip hak-hak asasi manusia;
c) Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan seksama, baik untuk kepentingan orang yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan finansial pemerintah dalam memenuhi dan melaksanakan putusan hukum itu.
d) Dengan rehabilitasi berarti orang itu telah dipulihkan haknya sesuai dengan keadaan semula yang diduga telah melakukan kejahatan.
e) Kejujuran yang menjiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan dedikasi dari aparat penegak hukum, karena tanpa adanya keseimbangan itu semuanya akan sia-sia belaka.
Selain itu menurut pendapat Indriyanto Seno Adji bahwa KUHAP menerapkan lembaga Praperadilan untuk melindungi seseorang dalam pemeriksaan pendahuluan terhadap tindakan-tindakan kepolisian dan atau kejaksaan yang melanggar hukum dan merugikan seseorang (in casu PEMOHON), dimana lembaga Praperadilan ini berfungsi sebagai lembaga pengawas terhadap upaya paksa yang dilaksanakan oleh pejabat penyidik dalam batasan tertentu.
6. Bahwa tujuan Praperadilan seperti yang tersirat dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal, sehingga esensi dari Praperadilan adalah untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan Undang-undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP atau Perundang-undangan lainnya;
7. Bahwa permohonan yang dapat diajukan dalam pemeriksaan Praperadilan, selain daripada persoalan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyedikan atau penghentian penuntutan maupun ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77 KUHAP), juga meliputi tindakan lain sebagaimana ditentukan secara tegas dalam ketentuan Pasal 95 KUHAP yaitu:
1. Tersangka, Terdakwa dan Terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau bukan yang diterapkan.
2. Tuntutan ganti kerugian oleh Tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri, diputus disidang Praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
Dengan kata lain Pasal 95 ayat (1) dan (2) pada pokoknya merupakan suatu tindakan penyidik atau penuntut umum dalam rangka menjalankan wewenangnya yang dilakukan tanpa alasan hukum, sehingga melanggar Hak Asasi Manusia atau harkat kemanusiaan atau merugikan seseorang, in casu adala PEMOHON. oleh karena itu tindakan lain yang dilakukan oleh TERMOHON menjadi objek permohonan Praperadilan.
8. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan Praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut: “terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
9. Bahwa Hakim mempunyai peranan seluas-luasnya untuk menemukan hukum, sehingga apabila didalam peraturan Perundang-undangan atau hukum acara pidana tidak mengatur mengenai adanya lembaga koreksi yang dapat ditempuh oleh seseorang, maka hal ini tidak berarti kesalahan TERMOHON tidak boleh dikoreksi, melainkan kesalahan tersebut harus dikoreksi dan diuji kebenarannya melalui lembaga peradilan dalam hal ini melalui lembaga Praperadilan. Hal ini secara tegas dan jelas telah diamanatkan di dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10 ayat (1):
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, menggali dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan menggalinya”
Pasal 5 ayat (2):
“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” 
10. Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :
a. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No.1/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011;
b. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012;
c. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012;
d. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015;
e. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
11. Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/ 2014 tanggal 28 April 2015 menegaskan bahwa Pasal 77 huruf (a) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Artinya jika di dalam Pasal 77 huruf (a) KUHAP mengatur kewenangan Praperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, maka melalui putusan ini Mahkamah Konstitusi memperluas ranah Praperadilan termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. 
12. Bahwa dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/ PUU-XII/ 2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
 
II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
A. FAKTA-FAKTA
1. Bahwa PEMOHON adalah seseorang Warga Negara Indonesia, yang berkediaman di Jln. SMAN 02 Rt 019 Rw 003 Kel. Bagan Hulu Kec. Bangko Kab. Rokan Hilir Provinsi Riau/Jln. Damai RT. 007/RW.012 KeL/Desa Panipahan , Kec. Pasir Limau Kapas, Kab. Rokan Hilir, Provinsi Riau;
2. Bahwa dalam perkara a quo, PEMOHON diduga terlibat dalam peredaran narkotika jenis sabhu dalam penangkapan SANDI FITRA sekitar bulan Oktober 2021 oleh Satresnarkoba Polres Rokan Hilir; 
3. Bahwa dari penangkapan sdr. SANDI FITRA di temukan narkotika jenis sabhu sebanyak 2 (dua) Kg, dan berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sdr. SANDI FITRA dalam Penyidikan mengatakan bahwa barang haram tersebut berasal dari PEMOHON, kemudian di terbitkan Daftar Pencarian Orang (DPO) terhadap diri PEMOHON oleh Satresnarkoba Polres Rokan Hilir;
4. Bahwa setelah sdr. SANDI FITRA di limpahkan tahap 2 (dua) ke Kejari Bagan Siapi-api, sdr, SANDI FITRA mencabut semua Berita Acara pemeriksaan di tingkat Penyidikan, karena sarat penyiksaan terhadap dirinya yang dilakukan oleh penyidik terhadap diri SANDI FITRA;
5. Bahwa keterangan sdr. SANDI FITRA mengatakan bahwa Narkotika jenis sabhu yang ditangkap oleh Satresnarkoba Polres Rokan Hilir tersebut sebenarnya berasal dari sdr. YONO dan bukan ALEX SANDER sebagaimana di arahkan Penyidik Satresnarkoba Polres Rokan Hilir;
6. Bahwa hasil putusan Pengadilan Negeri Rokan Hilir memutus sdr. SANDI FITRA dengan hukuman sebanyak 11 (sebelas)  tahun pada tanggal 01 desember 2022, didalam putusan tersebut tidak satupun keterangan saksi yang mengatakan barang narkotika jenis sabhu yang ditangkap dari sdr. SANDI FITRA berasal dari ALEX SANDER;
7. Bahwa atas putusan tersebut PEMOHON berniat mau masuk dinas Polri kembali, namun di ancam oleh Kasat Narkoba Polres Rokan Hilir sdr. IPTU  I GUSTI NGURAH KADE MARTAYASA, SH agar tidak masuk dinas lagi, jika masuk dinas maka akan dilakukan penangkapan terhadap PEMOHON, hingga akhirnya keluar surat Putusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) atas diri Pemohon;
8. Bahwa atas keluarnya Putusan PTDH tersebut kemudian PEMOHON mengajukan Banding ke Kapolda Riau, saran dari Bid propam Polda Riau bisa mengajukan memori Banding atas rekomendasi putusan PTDH, PEMOHON  harus masuk dinas;
9. Bahwa atas saran dari Bid Propam Polda Riau, PEMOHON melaksanakan dinas dengan mendatangi Polres Rokan Hilir kembali, namun setelah masuk dinas kemudian PEMOHON ditangkap oleh Kasat Reserse Narkoba Polres Rokan Hilir dengan SURAT PERINTAH PENANGKAPAN Nomor: SP.Kap/120/XII/2022/Res – Narkoba pada Tanggal 15 Desember 2022, kemudian diterbitkan surat perintah Perpanjangan Penangkapan Nomor : SP.Kap/120.a/XII/2022/Res – Narkoba pada Tanggal 18 Desember 2022, hingga sekarang ini,
10. Bahwa berdasarkan SURAT PERINTAH PENANGKAPAN Nomor: SP.Kap/120/XII/2022/Res – Narkoba pada Tanggal 15 Desember 2022 , kemudian diterbitkan surat perintah Perpanjangan Penangkapan Nomor : SP.Kap/120.a/XII/2022/Res – Narkoba pada Tanggal 18 Desember 2022,  saat ini PEMOHON berstatus sebagai Tersangka dan berada dalam tahanan Polres Rokan Hilir.
11. Bahwa menurut hemat kami, TERMOHON terlalu terburu-buru dan tergesa gesa seakan dipaksakan menetapkan status Tersangka kepada PEMOHON serta melakukan Penangkapan terhadap PEMOHON.
 
Bahwa berdasarkan PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BAGAN SIAPI-API, Nomor: PUT/04/XII/2022, hari Kamis tanggal 01 Desember 2022 dalam putusan terdakwa SANDI FITRA, tidak ada menyatakan bahwa narkotika jenis sabhu sebanyak 2 (dua) kg berasal dari PEMOHON. 
B. TENTANG HUKUMNYA
I. Termohon I Tidak Memiliki Bukti Permulaan Yang Cukup Untuk Menetapkan Pemohon Sebagai Tersangka
1. Bahwa PEMOHON ditetapkan sebagai Tersangka merupakan pengembangan dalam perkara A.n. SANDI FITRA yang telah diperiksa dan diadili dalam Putusan Nomor: 66/Pid.Sus/2022/PN Rhl, yang telah diputus pada tanggal 27 April 2022 di Pengadilan Negeri Rokan Hilir; 
2. Bahwa fakta yang terjadi Termohon I hanya menggunakan Keterangan BAP A.n. SANDI FITRA saat membuat laporan ke Polda Riau sebagai dasar penetapan Tersangka dengan dalam dugaan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 114 Ayat (2) Jo 112 Ayat (2) Pasal 132 Ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, sangat memaksakan Pemohon terlibat dalam Perkara yang telah diputus telah berkekuatan hukum tetap atau Inkracht Van Gewijsde;
3. Bahwa Pemohon menilai Penetapan Status Tersangka sangatlah tidak berdasar dan serangkaian tindakan Termohon I sangatlah tidak professional;
4. Bahwa dalam perkara A.n. SANDI FITRA yang telah diperiksa dan diadili dalam Putusan Nomor: 66/Pid.Sus/2022/PN Rhl telah diputus pada tanggal 27 April 2022 di Pengadilan Negeri Rokan Hilir, setelah dilakukan Pemeriksaan hingga Putusan, baik dilakukan pengambilan keterangan saksi dan SANDI FITRA (Terdakwa pada Perkara tersebut) di Pengadilan sama sekali tidak ada menyebutkan hubungan hukum antara SANDI FITRA dengan PEMOHON, lalu atas dasar apa TERMOHON dan TERMOHON I telah menetapkan status Tersangka kepada PEMOHON?
“Apakah Termohon I masih mempertanyakan Keabsahan dan kebenaran bukti yang telah diputus dalam Persidangan dan masih melakukan serangkaian tindakan kebenaran diluar pengadilan”
5. Bahwa apabila Termohon I teliti dalam menangani perkara a quo, dengan tidak adanya hubungan antara Pemohon dengan SANDI FITRA dalam serangkaian tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Putusan Nomor: 66/Pid.Sus/2022/PN Rhl mempertegas Pemohon bukanlah orang yang pada dasarnya terlibat pada perkara a quo sehingga keputusan Termohon I menetapkan status Tersangka kepada Pemohon patutlah dipertanyakan kebenarannya;
6. Bahwa Termohon I dalam menetapkan tersangka dalam dugaan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 114 Ayat (2) Jo 112 Ayat (2) Pasal 132 Ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika kepada Pemohon tidak memenuhi unsur pasal 184 KUHAP terbukti dengan tidak adanya dua alat bukti yang menunjukkan bahwa memang benar Pemohon telah melakukan tindak pidana tersebut; 
7. Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.
8. Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 114 Ayat (2) Jo 112 Ayat (2) Pasal 132 Ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika;
Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan PEMOHON yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.
II. TERMOHON I TELAH NYATA UNPROSEDURAL DALAM MELAKUKAN PENANGKAPAN TERHADAP PEMOHON
1. Bahwa Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP;
2. Bahwa dalam Pasal 17 KUHAP Ayat (1) menyebutkan: “seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana, dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.” Dan dipertegas  buku Yahya Harahap berjudul “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan hal. 158.
3. Bahwa dengan tidak adanya bukti permulaan yang cukup dari Termohon I yang hanya menggunakan Keterangan SANDI FITRA dalam BAP pada tingkat Penyidikan dan tingkat Pemeriksaan di Pengadilan TIDAK TERBUKTI kaitan hubungan antara SANDI FITRA dengan Pemohon. Maka tindakan Penangkapan yang dilakukan oleh Termohon I kepada Pemohon patutlah dipertanyakan; 
4. Bahwa rangkaian kegiatan Penyidikan sangat jelas disebutkan pada Pasal 10 Ayat (1) PERKAPOLRI Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, dimana kegiatan Penyidikan meliputi: 
a. penyelidikan;
b. dimulainya penyidikan;
c. upaya paksa;
d. penetapan tersangka;
e. pemberkasan;
f. penyerahan berkas perkara;
g. penyerahan tersangka dan barang bukti; dan
h. penghentian penyidikan.
 
5. Bahwa sebagaimana dimuat pada Pasal 16 Ayat (1) PERKAPOLRI Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, upaya paksa meliputi:
 
a. pemanggilan;
b. penangkapan;
c. penahanan;
d. penggeledahan;
e. penyitaan; dan 
f. pemeriksaan surat.
 
6. Bahwa penerbitan daftara pencarian orang kemudian dilakukan dengan serangkaian uapaya paksa penangkapan yang dilakukan oleh Termohon I kepada pemohon juga tidak sesuai prosedur. Karena sejatinya daftar pencarian orang guna pemeriksaan penyidikan perkara hanya dilakukan kepada tersangka yang tidak diketahu keberadaannya sebagaimana diketahui pada Pasal 17 ayat 6 sebagaimana dibuat dalam perkapolri No. 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana.
 
7. Bahwa yang menjadi membingungkannya, tindakan termohon yang menerbitkan DPO kemudian melanjutkan dengan penangkapan, akibat tidak diketahuinya kediaman pemohon patut dipertannyakan. Karena pemohon sendiri juga merupakan anggota polri aktif yang jelas keberadaannya serta kediaman keluarganya. Bahwa serangkaian tindakan upaya paksa tersebut juga tidak dilengkapi oleh surat perintah dimulainya penyidikan dan/atau SPDP yang harus diterbitkan oleh Termohon I mengingat status tersangka telah melekat pada diri Pemohon.   
III. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM
1. Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
2. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu mengeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
3. Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’
4. Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
5. Bahwa bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
– ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
– dibuat sesuai prosedur; dan
– substansi yang sesuai dengan objek Keputusan
Bahwa sebagaimana telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.
6. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan a quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :
• “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
• Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan
7. Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon I kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Rokan Hilir yang memeriksa dan mengadili perkara a quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.
IV. PETITUM
Berdasarkan pada argumen dan fakta-fakta yuridis diatas, PEMOHON mohon kepada Hakim Pengadilan Negeri Rokan Hilir yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :
1. Menyatakan diterima permohonan PEMOHON Praperadilan untuk seluruhnya;
2. Menyatakan tindakan TERMOHON I menetapkan PEMOHON sebagai tersangka dengan dugaan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 114 Ayat (2) Jo 112 Ayat (2) Pasal 132 Ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika oleh TERMOHON I tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON I yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri PEMOHON oleh TERMOHON I;
4. Memerintahkan kepada TERMOHON I untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada PEMOHON;
5. Memulihkan hak PEMOHON dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
6. Menghukum TERMOHON I untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku;
7. Menghukum TERMOHON I, TERMOHON II, TERMOHON III, TERMOHON IV DAN TERMOHON V untuk tunduk dan menjalankan putusan ini.
PEMOHON sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Hakim Pengadilan Negeri Rokan Hilir yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara a quo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan yang dipertanggung jawabkan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa.
 
 
Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru yang memeriksa Permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Pihak Dipublikasikan Ya