Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI ROKAN HILIR
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2022/PN Rhl 1.M. TITO RACHMAD PRASETYO
2.Rapen A.M.S Sinaga, S.H., M.M., C.L.A.,, Dkk
JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA cq. KEPALA KEJAKSAAN TINGGI RIAU cq. KEPALA KEJAKSAAN NEGERI ROKAN HILIR Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 04 Apr. 2022
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2022/PN Rhl
Tanggal Surat Senin, 04 Apr. 2022
Nomor Surat B/1
Pemohon
NoNama
1M. TITO RACHMAD PRASETYO
2Rapen A.M.S Sinaga, S.H., M.M., C.L.A.,, Dkk
Termohon
NoNama
1JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA cq. KEPALA KEJAKSAAN TINGGI RIAU cq. KEPALA KEJAKSAAN NEGERI ROKAN HILIR
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
Advokat/Penasehat Hukum dan Advokat Magang*) pada Kantor “RSP Law Office” yang beralamat di Komplek Duta Mas Jalan Fatmawati D2 No. 2 Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta 12150 dan alamat elektronik info@rsp-lawfirm.com / kantorhukum.rsp@gmail.com ; phone 0812.1033.3040, dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor : 042/RSP.SKK/III/2022 tanggal 25 Maret 2022, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama :
 
M. TITO RACHMAD PRASETYO, Warga Negara Indonesia, Laki-laki, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, beralamat di Jalan Deposito B 13 No. 2 RT. 003 RW 010 Kelurahan Pegangsaan Dua Kecamatan Kelapa Gading Kota Jakarta Utara atau Komplek Graha Bunga Blok GB 5 Nomor 8 Pondok Aren Tangerang Selatan (alamat sekarang di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Bagansiapiapi), 
 
selanjutnya disebut sebagai “PEMOHON”.
 
Dengan ini mengajukan Permohonan Praperadilan atas Penetapan Tersangka dan Penahanan PEMOHON karena diduga melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) huruf a, huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yang dilakukan oleh :
 
JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA cq. KEPALA KEJAKSAAN TINGGI RIAU cq. KEPALA KEJAKSAAN NEGERI ROKAN HILIR, yang beralamat di Komplek Perkantoran Batu 6 Bagan Punak Meranti, Kecamatan Bangko, Kabupaten Rohil, Provinsi Riau,
 
selanjutnya disebut sebagai “TERMOHON”.
 
Adapun yang menjadi alasan permohonan Pemohon Praperadilan adalah sebagai berikut :
 
A. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
 
a.1 Alasan Objektif Penetapan Tersangka Tidak Berdasarkan Atas Hukum
 
1. Bahwa pada hakekatnya pranata Praperadilan yang diatur dalam Bab X Bagian Kesatu KUHAP dan Bab XII Bagian Kesatu KUHAP merupakan sarana untuk mengawasi secara horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum). Dalam hal wewenang dilaksanakan secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum, dengan maksud atau tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, maka pengujian atas keabsahan penggunaan wewenang tersebut dilakukan melalui paranata Praperadilan, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap warga negara (PEMOHON);
 
2. Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan/upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum sudah sesuai dengan undang-undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan menyangkut sah tidaknya tindakan penyidik/penuntut umum di dalam melakukan penyidikan/penuntutan;
 
3. Bahwa menguji keabsahan penetapan status Tersangka (PEMOHON) adalah untuk menguji tindakan–tindakan penyidik itu apakah bersesuaian dengan norma/ketentuan dasar-mengenai penyidikan yang termuat dalam KUHAP, mengingat penetapan status tersangka seseorang adalah “kunci utama” dari tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum (Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum) berupa upaya paksa, baik berupa pencegahan, penggeledahan, penyitaan maupun penahanan. Dengan kata lain, adanya “status tersangka” itu menjadi alas hukum bagi aparat penegak hukum (Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum) untuk melakukan suatu upaya paksa terhadap seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Artinya, seseorang tidak dapat ditangkap atau ditahan atau dilakukan pencegahan tanpa adanya keadaan menyangkut status seseorang itu telah ditetapkan sebagai Tersangka;
 
4. Bahwa pengujian keabsahan penetapan Tersangka adalah melalui pranata Praperadilan, karena penetapan sebagai Tersangka ini adalah dasar hukum untuk dapat dilakukan upaya paksa terhadap seorang warga Negara, yang merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses penyidikan, sehingga pranata hukum yang berwenang menguji dan menilai keabsahan “Penetapan Tersangka” adalah Praperadilan;
 
5. Bahwa dalam praktek peradilan, Hakim telah membuat putusan terkait penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan, antara lain:
 
5.1 Putusan Praperadilan dalam perkara Nomor. 67/Pid.Prap/2015/PN.JKT.Sel.tanggal 4 Agustus 2015, dengan Amar Putusan antara lain :
 
- “Menyatakan Penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah”,
- “Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon;
 
5.2 Putusan Praperadilan dalam perkara Nomor: 04/Pid/Prap/2014/ PN.Jkt.Sel, tanggal 16 Februari 2015, dengan amar putusan, antara lain:
 
- “Menyatakan penetapan Tersangka atas diri PEMOHON yang dilakukan oleh TERMOHON adalah tidak sah”;
- “Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON oleh TERMOHON”;
 
5.3 Putusan Praperadilan dalam perkara Nomor: 36/Pid.Prap/2015/ PN.JKT.Sel, tanggal 26 Mei 2015, dengan amar putusan, antara lain:
 
- “Menyatakan Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon berkenaan dengan peristiwa pidana sebagaimana dinyatakan dalam penetapan sebagai Tersangka terhadap diri Pemohon yang diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang–Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang–Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang–Undang No.31 Tahun 1999 JIS Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP adalah tidak sah oleh karenanya penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan oleh karena itu diperintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan, No. Sprin DIK–17/01/04/2014 tanggal 21 April 2014;
- Menyatakan menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka yang melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang–Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang–Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang– Undang No.31 Tahun 1999 JIS Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP berdasarkan Surat Perintah Penyidikan, No. Sprin DIK–17/01/04/2014 adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya Penetapan Tersangka aquo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”;
 
6. Bahwa pranata Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP harus dimaknai dan diartikan sebagai pranata untuk menguji perbuatan hukum yang akan diikuti upaya paksa oleh penyidik atau penuntut umum, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan adalah untuk menguji sah tidaknya perbuatan hukum yang dilakukan oleh penyelidik, penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan sebagaimana dimaksud Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU–XII/2014 tanggal 28 April 2015;
 
7. Bahwa dengan memperhatikan praktek peradilan melalui putusan Praperadilan atas penetapan Tersangka dan Penahanan tersebut di atas serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Konstitusi dalam Putusan Mahkamah  Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, yang berbunyi,
 
“Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang didalili oleh pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum” (Putusan MK hal 105-106).
 
maka cukup alasan hukumnya bagi PEMOHON untuk menguji keabsahan penetapan PEMOHON sebagai Tersangka melalui Praperadilan;
 
8. Bahwa merujuk amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU–XII/2014 tanggal 28 April 2015, yang berbunyi antara lain :
 
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
 
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
 
maka menjadi jelas dan terang bahwa penetapan Tersangka menurut hukum adalah merupakan objek Praperadilan;
 
9. Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, sangatlah beralasan dan cukup alasan hukumnya dalam hal Praperadilan yang dimohonkan PEMOHON ini diajukan kehadapan hakim, sebab yang dimohonkan oleh PEMOHON untuk diuji oleh pengadilan adalah berubahnya status PEMOHON yang menjadi Tersangka dan akan berakibat hilangnya kebebasan PEMOHON, dilangggarnya hak asasi PEMOHON akibat tindakan TERMOHON yang dilakukan tidak sesuai prosedur yang ditentukan oleh hukum acara pidana dan dilakukan dengan prosedur yang salah dan menyimpang dari ketentuan hukum acara pidana dalam hal ini KUHAP, oleh karenanya Permohonan PEMOHON untuk menguji keabsahan penetapan PEMOHON sebagai Tersangka oleh TERMOHON melalui Praperadilan adalah sah menurut hukum;
 
 
 
a.2 Alasan Obyektif Dan Subyektif Penahanan Pemohon Tidak Tepat
 
1. Bahwa pelaksanaan penahanan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Bagansiapiapi, hanya berdasarkan Surat Perintah Penahanan (Tingkat Penyidikan) Nomor : PRINT - 01/L.4.20/Fd.1/03/2022 tertanggal 23 Maret 2022, tanpa Berita Acara Penahanan yang ditandatangani Tersangka / PEMOHON tersebut melanggar :
 
 
Pasal 28 D Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum”.
 
Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
“Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan/ atau mengulangi tindak pidana.”
 
Pasal 9 ayat (1) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang berbunyi:
“Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang- wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecual berdasarkan alasan-alasan yang sah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum”.
 
Pasal 10 ayat (1) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang berbunyi:
“Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia”.
 
2. Bahwa berdasarkan Surat Perintah Penahanan (Tingkat Penyidikan) Nomor : PRINT - 01/L.4.20/Fd.1/03/2022 tertanggal 23 Maret 2022 terhadap PEMOHON telah dilakukan penahanan. Dalam Pertimbangan dinyatakan;
 
a. Untuk kepentingan penyidikan dalam perkara atas nama tersangka M. TITO RACHMAT PRASETYO Als TITO Bin MUNANDAR yang diduga keras melakukan Tindak Pidana Korupsi terhadap Kegiatan Pembangunan Fasilitas Pelabuhan Laut Bagansiapiapi Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Tahun Anggaran 2018 sebagaimana diatur Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 3 jo. Pasal 18 Ayat (1) huruf a, huruf b, Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
b. Berhubung dengan adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
c. Oleh karena itu dianggap perlu untuk mengeluarkan Surat Perintah.
 
3. Bahwa pertimbangan dalam Surat Perintah Penahanan (Tingkat Penyidikan) Nomor : PRINT - 01/L.4.20/Fd.1/03/2022 tertanggal 23 Maret 2022, adalah pertimbangan yang tidak berdasarkan atas hukum, karena tidak ada alasan obyektif bahwa PEMOHON sebagai Tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup;
 
4. Bahwa penahanan terhadap PEMOHON, tidak berdasarkan alasan obyektif sebagaimana dimaksud oleh pasal 21 ayat (1) KUHAP “..yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup,...” kalau dihubungkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu secara melawan hukum telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Tidak juga berdasarkan alasan obyektif “..yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup..” kalau dihubungkan dengan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan menyalahgunakan kewenangan , kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan , yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara;
 
5. Bahwa adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup PEMOHON telah melakukan tindak pidana korupsi belum terpenuhi, ketika PEMOHON ditahan oleh penyidik, karena belum adanya penghitungan kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya dilakukan oleh ahli sebagaimana dimaksud oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006;
 
6. Bahwa pertimbangan dalam Surat Perintah Penahanan (Tingkat Penyidikan) Nomor : PRINT - 01/L.4.20/Fd.1/03/2022 tertanggal 23 Maret 2022, adalah pertimbangan yang tidak berdasarkan atas hukum, karena tidak ada alasan subyektif yang menimbulkan kekhawatiran bahwa Tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/ atau mengulangi tindak pidana;
 
7. Bahwa andaikata benar–quod non—terbukti ada kekhawatiran bahwa PEMOHON akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/ atau mengulangi tindak pidana, sehingga dengan pertimbangan dan bukti itu untuk kepentingan Penyidikan dan kelancaran proses Penyidikan khususnya karena masih diperlukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap PEMOHON sebagai Tersangka, PEMOHON patut ditahan, maka PEMOHON MENSOMASI TERMOHON untuk membuktikan bahwa PEMOHON pernah tidak hadir memenuhi Surat Panggilan TERMOHON untuk menghadap guna didengar keterangannya sebagai saksi atau Tersangka dalam perkara tindak pidana yang dipersangkakan;
 
8. Bahwa dalam Surat Perintah Penahanan (Tingkat Penyidikan) Nomor : PRINT - 01/L.4.20/Fd.1/03/2022 tertanggal 23 Maret 2022, pertimbangan tentang kehawatiran akan melarikan diri, atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana tersebut diatas, sama sekali tidak menyebutkan adanya Nood zakelijk heid, yaitu suatu keadaan yang melandasi kehawatiran tersebut diatas. Sehingga pertimbangan tersebut tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, karena ketentuan ini secara tegas mensyaratkan adanya keadaan yang menimbulkan kehawatiran tersebut;
 
9. Bahwa prinsip-prinsip hukum yang terkandung dalam Pasal 21 Ayat (1) KUHAP adalah: Penahanan atau penahanan lanjutan terhadap tersangka atau terdakwa jika diduga keras telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup; dan terhadap perbuatan yang disangkakan, diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih, atau tindak pidana tertentu yang dikecualikan menurut ketentuan Pasal 21 Ayat (4) huruf b KUHAP, serta Terdapat adanya keadaan yang menimbulkan kehawatiran bahwa tersangka atau terdakwa dimaksud akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/ atau mengulangi tindak pidana”. Dan keadaan yang menimbulkan kehawatiran itu, HARUS mempunyai alasan yang sah dan alasan itu HARUS dapat dibuktikan secara obyektif. Bukan berdasarkan prasangka-prasangka yang mengada-ada atau hanya sekedar untuk pembenaran tindakan penyalahgunaan kewenangan yang merugikan hak asasi Tersangka;
 
10. Bahwa dasar Penahanan sesuai dengan bunyi Pasal 21 KUHAP, yang meliputi dasar menurut hukum (rechtmatige heid) dan dasar hukum menurut keperluan berdasarkan suatu keadaan (nood zakelijk heid). Penjelasan mengenai hal ini secara tegas disebutkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tanggal 04 Februari 1982, Bagian Umum, Bab III, butir 3. Dasar hukum bagi penangkapan/penahanan dan pembatasan jangka waktunya (tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP bagi seluruh Aparatur Penegak Hukum) yang pada hakekatnya menyatakan:
 
Yang menjadi alasan fundamental sebagai Dasar Penahanan adalah:
 
Dasar menurut Hukum Yaitu :
adanya dugaan keras berdasarkan Bukti yang cukup bahwa orang itu melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih, atau tindak pidana yang diancam dengan pidana menurut ketentuan Pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP.
 
Dasar menurut keperluan Yaitu :
adanya keadaan yang menimbulkan kehawatiran bahwa Tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan / atau mengulangi tindak pidana.”
 
Artinya untuk sahnya suatu Penahanan harus memenuhi kedua Dasar Penahanan tersebut di atas, karena kedua Dasar Penahanan tersebut merupakan alasan yang fundamental untuk melakukan Penahanan terhadap seseorang. Kedua alasan tersebut adalah merupakan satu kesatuan alasan untuk melakukan penahanan. Sehingga dengan dipenuhinya dasar menurut Hukum saja dan tidak dipenuhinya dasar menurut Keperluan, maka tidak dapat dilakukan Penahanan. Karena hal itu masih merupakan persangkaan terhadap seseorang. Oleh karenanya apabila dilakukan Penahanan hanya dengan dasar menurut Hukum tanpa disertai dengan dasar menurut Keperluan, maka Penahanan itu adalah tidak sah (karena tidak dipenuhinya syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang)”.
 
11. Bahwa secara faktual, PEMOHON selalu datang dan tidak pernah menunjukkan usaha untuk melarikan diri, sebab setiap waktu dimintai keterangan pada masa penyelidikan hingga pemeriksaan sebagai saksi dalam proses penyidikan PEMOHON selalu hadir memenuhi panggilan. Dengan demikian, alasan adanya kekhawatiran bahwa PEMOHON akan melarikan diri adalah kekhawatiran yang tidak beralasan;
 
12. Bahwa secara faktual, PEMOHON selalu secara kooperatif menjawab dan memberikan bukti dan/ atau surat-surat yang diminta oleh penyelidik dan penyidik pada Kejaksaan Negeri Rokan Hilir. Dengan demikian, alasan bahwa ada kekhawatiran PEMOHON akan menghilangkan barang bukti adalah kekhawatiran yang tidak beralasan;
 
13. Bahwa secara faktual, apa yang PEMOHON lakukan dalam hubungannya dengan pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Perhubungan Republik Indonesia dalam kedudukannya selaku Pejabat Pembuat Komitmen yang bertindak untuk dan atas nama Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Laut Bagan Siapiapi, berdasarkan Surat Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Bagan Siapiapi Nomor : KU.706/1/02/KSOP.BAA.18 tanggal 4 Juni 2018 tentang Penunjukan/Pengangkatan Tenaga Pejabat Pembuat Komitmen pada Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Bagan Siapiapi Tahun 2018, Dengan demikian, alasan bahwa ada kekhawatiran PEMOHON akan mengulangi perbuatan adalah tidak beralasan, karena semua perbuatan PEMOHON dilakukan atas perintah jabatan (bahkan dalam kapasitas PEMOHON sebagai Pejabat Pembuat Komitmen), sehingga kekhawatiran akan mengulangi perbuatan adalah kekhawatiran yang tidak beralasan;
 
14. Bahwa tafsir alat bukti yang cukup dalam hubungannya dengan penahanan sesuai Pasal 21 ayat (1) KUHAP, harus dimaknai bahwa ada alat bukti yang cukup itu berhubungan dengan kekhawatiran Tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak barang bukti atau menghilangkan barang bukti dan/ atau mengulangi tindak pidana. Sehingga dalam surat perintah penahanan itu harus tergambar pula terdapat alat bukti yang cukup bahwa Tersangka akan melarikan diri, merusak menghilangkan barang bukti dan/ atau mengulangi tindak pidana;
 
15. Bahwa dalam Surat Perintah Penahanan PEMOHON sesuai Surat Perintah Penahanan (Tingkat Penyidikan) Nomor : PRINT - 01/L.4.20/Fd.1/03/2022 tertanggal 23 Maret 2022 tidak ada keterangan atau berisi adanya alat bukti yang cukup untuk membuktikan bahwa ada kekhawatiran PEMOHON sebagai Tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana;
 
16. Bahwa sejak PEMOHON ditahan oleh TERMOHON pada tanggal 23 Maret 2022, pemeriksaan terhadap PEMOHON sebagai Tersangka hanya dilakukan satu kali pemeriksaan, yaitu pemeriksaan tanggal 23 Maret 2022;
 
17. Bahwa dengan demikian, maka Penahanan yang dilakukan oleh TERMOHON terhadap PEMOHON tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (1) KUHAP, yaitu penahanan dilakukan untuk kepentingan penyidikan;
 
18. Bahwa dengan tidak diperiksanya PEMOHON sebagai Tersangka secara layak untuk mempercepat proses penyidikan dan untuk kepentingan penyidikan, maka penahanan terhadap PEMOHON tidak sesuai dengan ketentuan pasal 50 ayat (1) KUHAP dan Penjelasannya, karena pada kenyataannya hak PEMOHON untuk mendapatkan pemeriksaan telah diabaikan secara sengaja oleh TERMOHON; 
 
19. Bahwa keadaan yang dialami oleh PEMOHON yang tidak mendapatkan pemeriksaan secara layak ini telah dirasakan sebagai keadaan yang menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dan telah menimbulkan perlakuan sewenang-wenang dan tidak wajar dari TERMOHON. Keadaan yang dialami oleh PEMOHON ini mengakibatkan tidak terlaksananya prinsip peradilan yang dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan;
 
20. Bahwa dengan demikian, penggunaan alasan obyektif dan subyektif untuk melakukan penahanan terhadap PEMOHON telah merugikan PEMOHON secara materiil dan secara immateriil;
 
Bahwa dengan demikian, terbukti tindakan TERMOHON menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka sebelum adanya penghitungan kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya oleh BPK atau ahli yang tidak berdasarkan undang-undang, merupakan sesuatu kekeliruan hukum yang dilakukan oleh TERMOHON, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 95 KUHAP, dengan adanya penetapan, pemanggilan, pemeriksaan dan penahanan kepada PEMOHON sebagai Tersangka telah menimbulkan kerugian materiil dan immateriil yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian TERMOHON dalam menerapkan hukum. Dengan demikian, PEMOHON berhak menerima ganti kerugian dan dipulihkan atau direhabilitasi harkat dan martabatnya.
 
Tampak pada Putusan Praperadilan dalam perkara Nomor : 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel. Tanggal 27 November 2012 yang memutus sekaligus tentang Penetapan Tersangka, Penahanan, dan Ganti Kerugian serta Rehabilitasi,
 
dengan Amar Putusan anatara lain :
 
- Menyatakan tidak sah menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1990 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ;
- Menyatakan tidak sah menurut hukum penahanan terhadap Pemohon sesuai Surat perintah penahanan Nomor : Print-30/F.2/Fd.1/09/2012 Tanggal 26 September 2012 sebagai Tersangka telah melanggar Pasal 2 ayat(1) atau pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP ;
- Memerintahkan kepada Termohon untuk membebaskan Tersangka BACHTIAR ABDUL FATAH (Pemohon dalam perkara Praperadilan ini) dari tahanan seketika setelah putusan ini diucapkan ;
- Menghukum Termohon untuk membayar ganti rugi sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) kepada Pemohon ;
- Memulihkan hak-hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya
 
B. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
 
b.1 Fakta-Fakta
 
1. Bahwa PEMOHON berstatus Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Perhubungan Republik Indonesia dalam kedudukannya selaku Pejabat Pembuat Komitmen yang bertindak untuk dan atas nama Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Laut Bagan Siapiapi, berdasarkan Surat Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Bagan Siapiapi Nomor : KU.706/1/02/KSOP.BAA.18 tanggal 4 Juni 2018 tentang Penunjukan/Pengangkatan Tenaga Pejabat Pembuat Komitmen pada Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Bagan Siapiapi Tahun 2018;
 
2. Bahwa Penunjukan/Pengangkatan PEMOHON sebai Tenaga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah dalam rangka Pekerjaan Lanjutan Pembangunan Fasilitas Pelabuhan Laut Bagansiapiapi Tahun Anggaran 2018;
 
3. Bahwa tugas PEMOHON selaku PPK telah diatur dalam Pasal 11 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 yang telah diubah dan ditambah dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021;
 
4. Bahwa pekerjaan Lanjutan Pembangunan Fasilitas Pelabuhan Laut Bagansiapiapi dilakukan berdasarkan Surat Nomor : SPPBJ/01/KSOP.BGN-2018 perihal : Penunjukan Penyedia untuk Pelaksanaan Paket Pekerjaan Lanjutan Pembangunan Fasilitas Pelabuhan Laut Bagan Siapiapi TA 2018 tanggal 25 Juni 2018 dan Kontrak Surat Perjanjian untuk Melaksanakan Paket Pekerjaan Konstruksi Pekerjaan Lanjutan Pembangunan Fasilitas Pelabuhan Laut Bagan Siapiapi Nomor : PR.802/1/01/KSOP.BAA.18 tanggal 29 Juni 2018;
 
5. Bahwa pekerjaan Lanjutan Pembangunan Fasilitas Pelabuhan Laut Bagansiapiapi telah selesai dikerjakan;
 
6. Bahwa terhadap tender/pengadaan barang/jasa pemerintah diatur sebuah ketentuan untuk audit dengan prosedur yang dilakukan secara berurutan yakni terlebih dahulu dilakukan oleh Inspektorat Jenderal dan kemudian selanjutnya audit dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI);
 
7. Bahwa terhadap pekerjaan Lanjutan Pembangunan Fasilitas Pelabuhan Laut Bagansiapiapi, Inspektorat Jenderal Kementerian Perhubungan Republik Indonesia sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) telah melakukan pemeriksaan dan audit, dibuktikan dengan Surat Nomor : PS.004/3/11/ITJEN/2021 perihal : Laporan Hasil Audit Kinerja pada Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas IV Bagansiapiapi TA. 2021 tanggal 19 Oktober 2021, dan Inspektorat Jenderal tidak menemukan adanya kerugian negara;
 
8. Bahwa kemudian pekerjaan tersebut diperiksa oleh TERMOHON tanpa sebab dan tidak diketahui oleh PEMOHON alasan pemeriksaan yang dilakukan oleh TERMOHON. Maka sejak Tahun 2018 hingga saat ditetapkannya PEMOHON sebagai Tersangka dan terhadapnya dilakukan penahanan, TERMOHON telah melakukan pemeriksaan selama kurang lebih selama 2 (dua) tahun lamanya, dan entah apa yang membuat TERMOHON pada tanggal 23 Maret 2022 menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka dan langsung ditahan;
 
9. Bahwa PEMOHON pada tahap Penyidikan telah dimintai keterangannya berdasarkan :
 
9.1 Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hilir Nomor : PRINT - 01/L.4.20/Fd.1/06/2020 tanggal 02 Juni 2020,
9.2 Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hilir Nomor : PRINT - 01.a/L.4.20/Fd.1/03/2021 tanggal 05 Maret 2021, dan
9.3 Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hilir Nomor : PRINT - 01.b/L.4.20/Fd.1/03/2022 tanggal 23 Maret 2022;
 
10. Bahwa PEMOHON tidak pernah mangkir dari panggilan dan pemeriksaan oleh TERMOHON. PEMOHON selalu menunjukkan itikad baik dan kooperatif selalu hadir dalam panggilan dan pemeriksaan oleh TERMOHON;
 
11. Bahwa PEMOHON awalnya diperiksa hanya sebagai Saksi, hingga puncaknya pada tanggal 23 Maret 2022, PEMOHON kembali hadir di Kejaksaan Negeri Rokan Hilir untuk diperiksa dan didengar keterangannya (yang diketahui oleh PEMOHON adalah sebagai Saksi), namun ternyata PEMOHON terkejut ketika PEMOHON sudah ditetapkan sebagai Tersangka berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hilir Nomor : PRINT - 01.b/L.4.20/Fd.1/03/2022 tanggal 23 Maret 2022 atas nama M. TITO RACHMAD PRASETYO Als TITO Bin MUNANDAR;
 
12. Bahwa penetapan Tersangka atas dirinya baru diketahui oleh PEMOHON saat memenuhi panggilan dan pemeriksaan oleh TERMOHON yakni pada tanggal 23 Maret 2022 tersebut dan sebelumnya tidak pernah menerima atau melihat Surat Penetapan Tersangka Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hilir Nomor : PRINT - 01.b/L.4.20/Fd.1/03/2022 tanggal 23 Maret 2022;
 
13. Bahwa kemudian PEMOHON pada saat itu juga di tanggal yang sama 23 Maret 2022, PEMOHON langsung ditahan berdasarkan Surat Perintah Penahanan (Tingkat Penyidikan) Nomor : PRINT - 01/L.4.20/Fd.1/03/2022 tertanggal 23 Maret 2022 dan PEMOHON langsung dikirim ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Bagansiapiapi;
 
14. Bahwa Penetapan PEMOHON sebagai Tersangka tidak berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, yakni tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 2 KUHAP, yang berbunyi:  
 
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang Tindak Pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
 
Ketentuan di atas mengandung makna bahwa dalam kegiatan Penyidikan, Penyidik harus terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi. Dari bukti yang terkumpul tersebut barulah dapat ditentukan Tersangkanya. Akan tetapi, pada kenyataannya dalam kasus a quo terjadi sebaliknya, yaitu bukti belum terkumpul,namun PEMOHON sudah ditetapkan sebagai Tersangka.
 
15. Bahwa andaikata benar–quod non–ada alat bukti yang cukup, namun ketika PEMOHON ditetapkan sebagai Tersangka, secara pasti belum ada penghitungan kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya;
 
16. Bahwa dengan demikian, tindakan TERMOHON dalam melakukan penyidikan terhadap PEMOHON secara jelas dan nyata tidak sah, karena PEMOHON telah ditetapkan sebagai Tersangka tindak pidana korupsi, sedangkan penghitungan kerugian negara belum dilakukan;
 
17. Bahwa Penyidik tidak diberikan kewenangan oleh hukum untuk menafsirkan satu ketentuan undang-undang. Sebab Penyidik sebagai pelaksanakan undang-undang, harus menjalankan seluruh isi undang-undang sesuai bunyi undang-undang;
 
18. Bahwa yang berhak dan diberi kewenangan untuk menafsirkan undang- undang demi kepentingan proses peradilan hanya hakim. Sebagaimana diterangkan oleh LIE OEN HOCK dalam pendapatnya:
 
“Dan apabila kita memperhatikan Undang-undang, maka ternjata bagi kita, bahwa undang-undang tidak sadja menundjukkan banjak kekurangan-kekurangan, tapi seringkali djuga tidak djelas. Walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian undang-undang memberi kuasa kepada Hakim untuk menetapkan sendiri maknanja ketentuan undang- undang itu atau artinja suatu kata jang tak djelas dalam suatu ketentuan undang-undang. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan undang-undang setjara gramatikal atau historis, baik ‘recht maupun wetshistoris’, setjara sistimatis atau setjara sosiologis atau dengan cara memperbandingkan hukum.”
 
(Mr. Lie Oen Hock, Jurisprudensi sebagai Sumber Hukum, PIDATO diutjapkan pada waktu Peresmian Pemangkuan Djabatan Guru Besar Luar Biasa dalam Ilmu Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat dari Universitas Indonesia di Djakarta, pada tanggal 19 September 1959, hlm.11);
 
19. Bahwa belum dihitungnya kerugian negara yang nyata dan pasti oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian negara, tidak dapat ditafsirkan dengan diskresi oleh Penyidik bahwa sudah ada kerugian negara. Sebab mengenai kerugian negara ini telah ada ketentuan yang diatur secara pasti oleh putusan pengadilan, dalam hal ini oleh Mahkamah Konstitusi;
 
b.2 Tentang Hukumnya
 
1. Bahwa dengan ditetapkannya PEMOHON sebagai Tersangka tindak pidana korupsi dan serta merta dilakukan penahanan oleh Penyidik/Penuntut Umum, hal tersebut adalah sebagai perampasan Hak Asasi PEMOHON sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 jo Pasal 21 KUHAP jo Pasal 9 ayat (1) jo Pasal 10 ayat (1) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Ketentuan-ketentuan tersebut berbunyi sebagai berikut:
 
Pasal 28 D Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
 
Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
“Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan/atau mengulangi tindak pidana.”
 
Pasal 9 ayat (1) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang berbunyi:
“Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum”.
 
Pasal 10 ayat (1) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang berbunyi:
“Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia”.
 
2. Bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengandung elemen pokok yaitu:
Adanya perbuatan melawan hukum;
Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
 
3. Bahwa ketentuan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengandung elemen pokok yaitu:
Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
Yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara;
 
4. Bahwa Kerugian Negara dalam perkara korupsi adalah merupakan salah satu elemen pokok, tanpa adanya elemen ini maka tidak ada Korupsi. Sebab, sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006
 
“..unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung”. Pembuktian dan penghitungan kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya itu harus dilakukan, “..secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian.”;
 
5. Bahwa selengkapnya, dalam kutipan bunyi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006, dinyatakan:
 
“Menimbang bahwa dengan asas kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam melindungi hak seseorang, hubungan kata “dapat” dengan “merugikan keuangan negara” tergambarkan dalam dua hubungan yang ekstrim: (1) nyata-nyata merugikan negara atau (2) kemungkinan dapat menimbulkan kerugian. Hal yang terakhir ini lebih dekat dengan maksud mengkualifikasikan delik korupsi menjadi delik formil. Di antara dua hubungan tersebut sebenarnya masih ada hubungan yang ”belum nyata terjadi”, tetapi dengan mempertimbangkan keadaan khusus dan kongkret di sekitar peristiwa yang terjadi, secara logis dapat disimpulkan bahwa suatu akibat yaitu kerugian negara akan terjadi. Untuk mempertimbangkan keadaan khusus dan kongkret sekitar peristiwa yang terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian.”
 
“Menimbang bahwa dengan adanya penjelasan yang menyatakan bahwa kata ”dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, kemudian mengkualifikasikannya sebagai delik formil, sehingga adanya kerugian negara atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi, Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi. Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli di bidangnya. Faktor kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan Pasal 4, bahwa pengembalian kerugian negara hanya dapat dipandang sebagai faktor yang meringankan. Oleh karenanya persoalan kata ”dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik oleh aparat penegak hukum, dan bukan menyangkut konstitusionalitas norma.”
 
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas secara jelas menerangkan, bahwa untuk menentukan suatu Kerugian Negara itu harus nyata dan pasti serta penghitungannya dilakukan oleh ahli;
 
6. Bahwa menurut Pasal 1 angka 22, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan, dinyatakan:
 
"kerugian negara atau daerah adalah kekurangan uang surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan yang melawan hukum baik sengaja maupun lalai".
 
 Hal ini senada dengan Pasal 32 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 yang menyebut secara nyata telah ada kerugian negara yang dapat dihitung oleh instansi yang berwenang;
 
7. Bahwa dalam perkara PEMOHON ketika ditetapkan sebagai Tersangka, belum ada perhitungan kerugian negara yang jumlahnya nyata dan pasti, sehingga salah satu elemen yang dapat digunakan untuk menerapkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum terpenuhi;
 
8. Bahwa menurut Undang-undang yang berlaku yaitu Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan Negara adalah BPK, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) yang berbunyi:
 
”BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”;
 
9. Bahwa penetapan PEMOHON sebagai Tersangka tidak sesuai dengan isi dan bunyi dari Pasal 1 butir 14 KUHAP yang menyatakan:
 
“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”.
 
10. Bahwa seseorang dapat ditetapkan sebagai Tersangka melakukan tindak pidana korupsi, karena perbuatannya atau keadaannya melawan hukum berdasarkan bukti permulaan patut diduga telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan menyalahguanakan kewenangan, kesempatan atau sarana atau sarana yang atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
 
11. Bahwa ketika PEMOHON ditetapkan sebagai Tersangka karena perbuatannya atau keadaannya melawan hukum berdasarkan bukti permulaan patut diduga memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara atau perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan menyalahgunakan, kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara atau perekonomian yang nyata dan pasti jumlahnya berdasarkan hasil penghitungan kerugian negara yang dilakukan oleh ahli belum dilakukan ;
 
12. Bahwa sebelum adanya penghitungan kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya yang dilakukan oleh ahli sebagaimana dimaksud oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006, maka adanya dugaan keras bahwa PEMOHON telah melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan bukti yang cukup belumlah terpenuhi, sehingga menurut hukum PEMOHON tidak patut untuk ditetapkan sebagai Tersangka;
 
13. Bahwa dengan demikian, maka penetapan PEMOHON sebagai Tersangka dalam perkara korupsi cacat secara hukum, karena penetapan sebagai Tersangka belum memenuhi ketentuan adanya bukti permulaan untuk ditetapkan sebagai Tersangka dalam tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Atau sebagaimana dimaksud oleh Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan menyalahgunakankewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara;
 
14. Bahwa bukti permulaan cukup yang digunakan dalam penetapan PEMOHON menjadi Tersangka seharusnya berpedoman pada ketentuan Pasal 183 KUHAP, yaitu sama dengan syarat bagi Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada seseorang, yaitu sekurang-kurangnya berdasarkan dua alat bukti yang sah untuk menyatakan bahwa tindak pidana betul-betul terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dengan demikian, maka untuk menetapkan seorang menjadi Tersangka, penyidik sekurang-kurangnya harus mempunyai dua alat bukti yang sah untuk menyatakan bahwa tindak pidana itu betul-betul terjadi dan tersangkalah yang melakukan perbuatan pidana itu ;
 
15. Bahwa dua alat bukti yang sah berkenaan dengan perkara PEMOHON, paling kurang harus mengandung unsur yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu adanya perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Atau sebagaimana dimaksud oleh Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan ,menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara;
 
16. Bahwa penyidik sekurang-kurangnya harus mempunyai dua alat bukti yang sah untuk menyatakan bahwa tindak pidana itu betul-betul terjadi dan tersangkalah yang melakukan perbuatan pidana itu,namun senyatanya ketika PEMOHON ditetapkan sebagai Tersangka oleh TERMOHON , dua alat bukti yang sah untuk menetapkan sebagai Tersangka tersebut tidak ada atau belum ada ;
 
17. Bahwa dengan demikian, penetapan PEMOHON sebagai Tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi, tanpa terlebih dahulu dilakukan penghitungan kerugian negara oleh BPK adalah tidak sah dan melawan hukum;
 
18. Bahwa menurut Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006, berkenaan dengan sifat melawan hukum secara materiil sebagaimana dimaksud oleh Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945;
 
19. Bahwa mengenai Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006, menyatakan:
 
“Menimbang bahwa oleh karenanya Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sepanjang mengenai frasa “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945”.
 
Dengan pertimbangan dari Mahkamah Konstitusi ini, maka menjadi jelas bahwa, perbuatan melawan hukum yang harus dibuktikan dalam perkara korupsi itu adalah perbuatan melawan hukum secara formil.
 
20. Bahwa dengan tidak adanya penghitungan kerugian negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau ahli dan tidak adanya kerugian yang nyata dan pasti, maka penetapan PEMOHON sebagai Tersangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum terpenuhi;
 
21. Bahwa dengan tidak adanya penghitungan kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau ahli, maka tidak ada alasan obyektif yang sah untuk menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka;
 
22. Bahwa dengan tidak adanya penghitungan kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau ahli, maka berarti tidak ada kegiatan yang terbukti memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud oleh pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
 
23. Bahwa dengan tidak adanya penghitungan kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau ahli, maka berarti tidak ada kegiatan yang terbukti menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud oleh pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
 
24. Bahwa dengan tidak adanya kegiatan yang terbukti memperkaya diri sendiri atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan tidak adanya fakta negara dirugikan dengan jumlah yang nyata dan pasti sebagai hasil penghitungan kerugian yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau ahli, maka tidak ada alasan obyektif yang sah untuk menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka;
 
25. Bahwa dengan demikian maka elemen pokok adanya korupsi yaitu memperkaya diri sendiri atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan tidak adanya fakta keuangan negara dirugikan dengan jumlah yang nyata dan pasti sebagai hasil penghitungan kerugian yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau ahli dalam suatu perbuatan pidana. Hal tersebut sebagaimana dimaksud oleh pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terlalu dini untuk Penyidik menduga bahwa Tersangka telah melakukan tindak pidana korupsi;
 
26. Bahwa dengan demikian, terbukti tindakan TERMOHON menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka sebelum adanya penghitungan kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau ahli yang tidak berdasarkan undang-undang dan tidak adanya kegiatan yang terbukti memperkaya diri sendiri dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi merupakan sesuatu kekeliruan hukum yang dilakukan oleh Penyidik sebagaimana dimaksud oleh Pasal 95 KUHAP;
 
27. Bahwa dengan adanya penetapan, pemanggilan dan pemeriksaan kepada PEMOHON sebagai Tersangka telah menimbulkan kerugian materiil dan immateriil yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian Penyidik dalam menerapkan hukum. Dengan demikian, PEMOHON berhak menerima ganti kerugian dan dipulihkan atau direhabilitasi harkat dan martabatnya
 
C. KERUGIAN MATERIIL DAN IMMATERIIL
 
1. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka secara jelas dan nyata tindakan TERMOHON menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka, melakukan penahanan, telah merugikan PEMOHON secara meteriil dan secara immateriil;
 
2. Bahwa besarnya kerugian materiil dari PEMOHON adalah sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah);
 
3. Bahwa kerugian immateriil dari PEMOHON ditetapkan sebagai Tersangka, kemudian ditahan atas sangkaan melakukan tindak pidana korupsi tidak bisa dinilai dengan uang, karena telah mempermalukan PEMOHON dan keluarga serta terancam diberhentikan dari Kementerian Perhubungan mengingat PEMOHON adalah Pegawai Negeri Sipil Kementerian Perhubungan, dengan demikian nilainya tidak terhingga. Namun, dalam perkara ini PEMOHON menetapkan kerugian immateriil PEMOHON sebasar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar Rupiah);
 
4. Bahwa oleh karena PEMOHON ditetapkan sebagai Tersangka, ditahan atas sangkaan melakukan tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerugian materiil dan immateriil yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian Penyidik dalam menerapkan hukum maka harkat dan martabat PEMOHON harus dipulihkan dan direhabilitasi.
 
D. PERMOHONAN
 
Berdasarkan argumentasi yuridis tersebut di atas, PEMOHON memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Rokan Hilir berkenan memeriksa dan memutus perkara ini sebagai berikut: 
 
1. Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan PEMOHON ini untuk seluruhnya;
 
2. Menyatakan :
 
2.1 Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hilir Nomor : PRINT - 01/L.4.20/Fd.1/06/2020 tanggal 02 Juni 2020,
 
2.2 Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hilir Nomor : PRINT - 01.a/L.4.20/Fd.1/03/2021 tanggal 05 Maret 2021, dan
 
2.3 Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hilir Nomor : PRINT - 01.b/L.4.20/Fd.1/03/2022 tanggal 23 Maret 2022
 
Yang menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka oleh TERMOHON terkait Tindak Pidana Korupsi sebagaimana Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) huruf a, huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan aquo adalah tidak mempunyai kekuatan mengikat;
 
3. Menyatakan Penetapan Tersangka atas diri PEMOHON yang dilakukan oleh TERMOHON berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hilir Nomor : PRINT - 01.b/L.4.20/Fd.1/03/2022 tanggal 23 Maret 2022 atas nama M. TITO RACHMAD PRASETYO Als TITO Bin MUNANDAR adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum;
 
4. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON oleh TERMOHON;
 
5. Memerintahkan kepada TERMOHON untuk menghentikan Penyidikan terhadap PEMOHON yang dilakukan berdasarkan :
 
5.1 Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hilir Nomor : PRINT - 01/L.4.20/Fd.1/06/2020 tanggal 02 Juni 2020,
 
5.2 Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hilir Nomor : PRINT - 01.a/L.4.20/Fd.1/03/2021 tanggal 05 Maret 2021, dan
 
5.3 Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hilir Nomor : PRINT - 01.b/L.4.20/Fd.1/03/2022 tanggal 23 Maret 2022
 
6. Menyatakan tidak sah menurut hukum penahanan terhadap PEMOHON sesuai Surat Perintah Penahanan (Tingkat Penyidikan) Nomor : PRINT - 01/L.4.20/Fd.1/03/2022 tertanggal 23 Maret 2022 sebagai Tersangka Tindak Pidana Korupsi sebagaimana Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) huruf a, huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;
 
7. Memerintahkan kepada TERMOHON untuk MEMBEBASKAN Tersangka M. TITO RACHMAD PRASETYO Als TITO Bin MUNANDAR (PEMOHON dalam perkara Praperadilan ini) dari tahanan seketika setelah putusan ini diucapkan;
 
8. Menghukum TERMOHON untuk membayar ganti kerugian materiil Rp. 5.000.000,- (lima juta Rupiah) dan kerugian immateriil sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu milyar Rupiah);
 
9. Melakukan rehabilitasi dan mengembalikan kedudukan hukum PEMOHON sesuai dengan harkat dan martabat dari PEMOHON;
 
10. Menghukum TERMOHON Praperadilan untuk membayar biaya perkara a quo;
 
 
PEMOHON PRAPERADILAN sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Negeri Rokan Hilir yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara a quo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.
 
Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Negeri Rokan Hilir yang memeriksa Permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Pihak Dipublikasikan Ya